Jumat, 18 Juli 2008

Lampung Menuju Tanpa Hutan

Oleh Hisar Sitanggang

Lampung tanpa hutan bukan sekedar ancaman atau isapan jempol. Tingkat kerusakan hutan, baik di kawasan hutan lindung maupun hutan produksi di Lampung sudah sangat mengkhawatirkan.

Luas hutan Lampung sekitar 1.004.735 ha atau 34 persen dari luas Provinsi Lampung. Bappeda Provinsi Lampung mengungkapkan pada 2007 kerusakan kawasan hutan lindung mencapai lebih dari 80 persen, sedangkan areal hutan produksi terbatas dan kawasan hutan produksi yang rusak masing-masing 67,5 persen dan 76 persen. Kerusakan hutan di Lampung adalah yang terparah di Sumatera.

Dengan melihat laju pertumbuhan penduduk sekitar 1,03 persen dalam tujuh tahun terakhir serta pertumbuhan ekonomi yang tinggi, maka ancaman atas keberadaan hutan tersisa semakin besar.

Penduduk Lampung pada 2000 mencapai 6,6 juta jiwa dan pada 2007 membengka menjadi 7,5 juta jiwa.

Meski termasuk provinsi termiskin di Indonesia, namun laju pertumbuhan ekonomi Lampung pada 2008 diperkirakan di atas pertumbuhan nasional. Pada triwulan I 2008, pertumbuhan perekonomian Lampung mencapai 7,23 persen.

Sektor pertanian adalah kontributor utama atas pertumbuhan perekonomian Lampung. Sayangnya aktivitas pertanian itu ternyata merambah juga hingga ke kawasan hutan lindung, seperti terjadi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan Taman Nasional Way Kambas (TNWK) dan juga kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman (Tahura WAR).

Hasil perambahan hutan di TNBBS setiap tahunnya diperkirakan Rp10 miliar, sehingga WWF-Indonesia pernah sampai mengeluarkan peringatan kepada pembeli internasional tentang kopi Lampung yang tercampur dengan kopi hasil perambahan.

AEKI Lampung menyebutkan total produksi kopi hasil perambahan di TNBSS berkisar 19 persen dari total ekspor kopi Lampung tahun 2007 (sekitar 180.000- 190.000 ton)

Menurut Kepala TNBBS, Kurnia RN, perambahan hutan lindung di kawasan TNBBS hingga sekarang masih tetap berlangsung.

"Ancaman utama terhadap TNBBS sebagai salah satu warisan dunia bukan lagi dari illegal logging, tetapi perambahan hutan untuk dijadikan sebagai tempat pertanian kopi, kakao dan tanaman lainnya," katanya.

Menurutnya, luas TNBBS sekitar 356.800 ha, dan sebagian besar berada di wilayah Kabupaten Lampung Barat. Luas lahan TNBBS yang dijadikan sebagai permukiman atau pertanian mencapai 60.000 ha dengan jumlah penduduk sedikitnya 19.000 KK.

Ia juga menyebutkan di kawasan TNBBS bahkan telah terdapat satu perkampungan di wilayah administrasi Kecamatan Suo, Kabupaten Lampung Barat.

Perambahan hutan TNBBS untuk dijadikan sebagai tempat pertanian kopi marak sejak era reformasi (1998), dan sebagian besar para perambah itu justru datang dari Pulau Jawa.

"Jadi perambahnya bukan hanya dari penduduk setempat, juga pendatang. Karena nilai kopi mahal maka tanaman itu yang banyak ditanam para perambah," katanya

Gambaran kerusakan hutan Lampung lainnya bisa dilihat dari keberadaan Tahura WAR.

Tahura WAR berjarak sekitar 15 km dari kota Bandarlampung, terletak di lintas kota Bandarlampung dan Kabupaten Pesawaran.

Menurut Unit Pengelola Teknis Daerah (UPTD) Tahura WAR, kerusakan taman hutan raya itu semakin mengkhawatirkan, dan kerusakan itu telah mencapai lebih dari 61 persen dari luas areal hutan tersebut.

Lahan yang masih bervegetasi hutan sekitar 39 persen dari total luas Tahura sekitar 22.249,31 ha, sementara kebun campuran meliputi 55 persen, semak belukar 1 persen dan perladangan sekitar 5 persen.

Kawasan hutan yang mengalami degradasi itu, misalnya terdapat di daerah Padang Cermin, Kedondong dan Way Lima.

Permasalahan yang dihadapi Tahura WAR, di antaranya adalah kegiatan usaha budidaya tanaman pertanian dan perkebunan oleh masyarakat sekitar kawasan hutan dengan cakupan luasnya sekitar 12.306,97 ha atau 55 persen dari total luas Tahura WAR.

Selain itu, terdapat permukiman di 47 titik, adanya klaim lahan oleh kelompok masyarakat di wilayah Padang Cermin dan Kedondong Way Lima, masih terjadi illegal logging dan terjadi penggeseran tapal batas.

Tahura WAR dikelilingi tujuh wilayah kecamatan. Hasil sensus tahun 2002 menunjukkan, terdapat sekitar 23.489 KK yang tinggal di dalam dalam dan sekitar kawasan Tahura WAR


Lebih serius

Satu kunci penting untuk menyelamatkan hutan tersisa yang semakin berkurang, adalah menumbuhkan kesadaran para "stake holders" untuk menjaga keberadan hutan tersisa.

Berkaitan itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung meminta Gubernur Lampung, Syamsurya Ryacudu untuk lebih serius memberikan perhatian yang mendalam atas kerusakan parah hutan di Lampung sekarang. Pemerintah juga diminta serius mengevaluasi kinerja aparat yang terkait dalam pengelolaan hutan.

"Seharusnya kawasan hutan yang rusak direhabilitasi dan yang ada dipertahankan keberadaannya. Ternyata kawasan hutan tetap atau tambah rusak parah," Direktur Eksekutif Walhi Lampung, Mukri Friatna.

Tokoh Lampung, Alzier Dianis Thabranie, mengatakan, kerusakan kawasan hutan di Lampung memang telah berlangsung sejak dulu dan terus berlanjut hingga sekarang.

Meski kerusakan hutan sudah parah, ia melihat tindakan pemerintah daerah setempat belum optimal untuk mengambil langkah-langkah yang perlu dalam rangka mencegah kerusakan hutan itu semakin meluas.

Langkah serius yang perlu diambil pemerintah itu, baik Pemda maupun Departemen Kehutanan, harus berupa tindakan yang kongkrit, konsisten dan tegas mengatasi perambahan hutan dan "illegal logging".

"Kebijakan keliru seperti pembangunan yang mengabaikan kehutanan dan lingkungan juga harus dicegah. Demikian pula penataan ruang tidak boleh hanya mengadopsi kepentingan segelintir orang," kata Thabranie.

Menurut Thabranie pemerintah juga jangan terlalu kerap mengeluarkan peraturan daerah yang membuka dilakukannya eksploitasi hutan.

Salah satu kebijakan pemerintah yang tidak konsisten sehingga mendapatkan tentangan keras dari penggiat masalah lingkungan adalah diizinkannya kegiatan pertambangan di hutan lindung, termasuk kegiatan pertambangan PT PT Natarang Mining (NM) di kawasan hutan lindung di wilayah Kabupaten Lampung Selatan, Lampung Barat dan Tanggamus.

PP No 2 tahun 2008 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal dari Pembangunan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan, juga akan mengancam keberadaan hutan lindung di Lampung.

Untuk menyelamatkan hutan tersisa, serangkaian kebijakan yang terarah dan tegas dalam implementasinya adalah yang diperlukan.

Para bupati yang semestinya berada di baris terdepan untuk mempertahankannya, terutama berani menolak setiap kebijakan atau peraturan yang mengancam keberadan hutan lindung, karena hutan itu berada di wilayahnya.

Merelokasi perambah hutan memang bukan hal yang mudah, dan biayanya pun sangat besar. Karenanya, upaya merelokasi perambah itu harus melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten, terutama dalam pembiayaannya.

Walhi telah berulangkali menyuarakan bahwa kebijakan yang tidak berpihak kepada pelestarian lingkungan dan maraknya illegal logging merupakan faktor utama penyebab kerusakan hutan Lampung.

Walhi juga mendesak pemerintah daerah untuk menolak kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung, karena manfaatnya jauh lebih kecil dibandingkan kerugian sosial ekologisnya.

Membangun hutan baru dan melibatkan masyarakat dalam merehabilitasi hutan, adalah saran yang banyak dilontarkan penggiat masalah lingkungan. Berkaitan itu, masyarakat di sekitar kawasan hutan perlu digerakkan agar berperan untuk memperbaiki dan menjaga hutan, sekaligus memanfaatkannya.(*)Bandarlampung, (ANTARA News)

Rabu, 16 Juli 2008

Pemanasan Global Landa Indonesia Sejak 1990-an

Dampak pemanasan global akibat naiknya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi telah mulai melanda Indonesia sejak 1990-an, ditandai perubahan iklim yang bergeser dari siklusnya.

Dulu musim kemarau berlangsung pada Maret hingga September sedangkan musim penghujan pada Oktober hingga Februari tiap tahunnya, tapi kini siklus tersebut tidak lagi seperti itu, kata Pakar Lingkungan dari Universitas Bung Hatta (UBH), Prof Dr Ir H Nasfryzal Carlo M.Sc di Padang, Selasa.

Carlo merupakan guru besar bidang ilmu rekayasa lingkungan dan pengolahan limbah pada Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Bung Hatta (UBH).

Ia menjelaskan, pemanasan global terjadi karena meningkatnya jumlah emisi gas rumah kaca di atmosfer bumi dan dampaknya mulai terjadi di banyak kawasan di dunia termasuk Indonesia.

Menurut dia, berdasarkan riset jangka panjang dilakukan sejumlah ahli menyimpulkan, di Indonesia sejak tahun 1990-an, musim kemarau mengalami percepatan 40 hari dan musim hujan bisa mundur sampai empat dasarian.

Akibat perubahan itu, menyebabkan musim kemarau menjadi lebih lama 80 hari, sebaliknya musim hujan berkurang 80 hari dari kondisi normal, katanya.

Ia menambahkan, akibat perubahan itu, pola tanam dan produksi pertanian menjadi tidak menentu yang akhirnya krisis pangan akan melanda.

Carlo menjelaskan, pemanasan global akan diikuti perubahan iklim seperti naiknya curah hujan di beberapa belahan bumi yang menimbulkan bencana banjir dan tanah longsor, tapi sebaliknya di belahan bumi lainnya mengalami kekeringan berkepanjangan.

Pemanasan global dan perubahan iklim, menurut dia, terjadi akibat aktifitas manusia dalam proses pembangunan terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara).

Kemudian aktivitas yang berhubungan dengan hutan, pertanian dan peternakan, tambahnya.

Ia menyatakan, aktifitas itu baik langsung maupun tidak langsung menyebabkan perubahan komposisi alami atmosfer bumi.

Untuk mengurangi dampak pemanasan global, Nasfryzal Carlo, mengatakan, gaya hidup selaras dengan alam (living green) perlu mendapat perhatian masyarakat dan pemerintah di dunia.

Ia mengatakan, hidup selaras dengan alam akan meminimalkan pemanasan global dengan mengurangi pelepasan gas rumah kaca dan mencegah terjadinya pencemaran udara lainnya ke atmosfer.

Karena itu, gaya hidup selaras dengan alam menjadi keharusan dalam kehidupan sehari-hari bagi oleh pemerintah mapun masyarakat di dunia, tambahnya.

Ia menjelaskan, langkah-langkah gaya hidup selaras dengan alam itu seperti, menghemat pemakaian arus listrik dan bahan bakar minyak (BBM).

Gaya ini diwujudkan dengan mematikan lampu listrik yang tidak penting, mematikan komputer ketika tidak bekerja, mematikan alat pendingin ketika tidak berada di dalam ruangan dan mematikan televisi saat tidak menonton.

Kemudian, menghindari penggunaan lift atau eskalator pada bangunan berlantai dua, memaksimalkan penggunaan transportasi umum dan kendaraan yang berbahan bakar gas atau biodiesel.

Selanjutnya, memakai kendaraan bebas polusi seperti sepeda dan becak, menhindari pembakaran sampah, menerapkan konsep 3R (reduce, reuse and recycle atau mengurangi, menggunakan kembali dan mendaur ulang) dalam sistim pengelolaan sampah.

Gaya lainnya, mendesain bangunan dengan sirkulasi udara dan pencahayaan alami, mengontrol emisi operasional perusahaan, membeli produk lokal untuk mengurangi transportasi barang-barang impor dan jika terpaksa beli produk impor yang mempunyai ercycle logo.

Hidup selaras dengan alam, kata Carlo, juga diimplementasikan dengan mengganti tas belanja dari bahan plastik ke bahan kain atau bahan organik lainnya, menggunakan kertas pada kedua sisi dan mendaur ulang kembali, menebang pohon yang harus diikuti penanaman kembali dan membuka lahan dengan cara tidak membakar.

Berikutnya, menghentikan penebangan hutan secara liar, membudayakan gemar menanam pohon, menggunakan taman hidup sebagai pagar dan merubah gaya hidup untuk menyelamatkan bumi, tambahnya.

Sementara itu, khusus bagi pemerintah dan pihak-pihak pengambil kebijakan diminta lebih aktif mematuhi dan melaksanakan ketentuan dan aturan menjaga lingkungan secara konsekwen, demikian Prof Dr Ir H Nasfryzal Carlo M.Sc.(*)

(ANTARA News)