Jumat, 09 Mei 2008

Banyak Satwa di Jambi Terancam Punah

Jambi,Sigombak - Banyak satwa langka di Jambi terancam punah seperti Harimau Sumatera (panthera tigris Sumaterae), gajah Sumatera (elephas malcius Sumaterae), dan orangutan (pongo pygmaeus).

Manajer Frankfurt Zoological Society (FZS), Krismanko J Padang di Jambi, Jumat mengatakan, ancaman kepunahan satwa dilindungi itu akibat ulah manusia merusak hutan dan mengkonversi lahan hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit besar-besaran, juga perburuan.

Pada 3 Mei 2008 ditemukan empat bangkai gajah Sumatera di kawasan perkebunan sawit PT Ragunas di Desa Muaro Sekalo, Kabupaten Tebo, Jambi.

Gajah Sumatera yang diperkirakan tiga ekor usia dewasa dan satu ekor anak diduga sengaja dibunuh dengan racun setelah mati lalu dibakar.

Hal seperti itu membuat gajah Sumatera di Jambi, terutama di tempat habitatnya di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) Kab. Tebo, bisa punah.

Sekarang saja populasinya di TNBT hanya tinggal antara 50-70 ekor. TNBT kini juga dijadikan FZS tempat penelitian dan pengembangbiakan orangutan.

Sementara harimau Sumatera yang masih terdapat di sejumlah wilayah TNBT, Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) di Kab. Sarolangun dan Kab. Batanghari, serta Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) Kabupaten Kerinci, juga terancam punah.

Satwa langka itu kini terdesak keluar hutan, karena hutan rusak akibat pembalakan liar (ilegal logging) dan pembukaan lahan perkebunan.(*) (ANTARA News)


Masyarakat Badui Minta Perusak Hutan Lindung Ditindak Tegas


Lebak,Sigombak - Masyarakat komunitas Badui di pedalaman Kabupaten Lebak, Banten, meminta pelaku perusak hutan lindung ditindak tegas karena dapat menimbulkan bencana banjir serta longsoran tanah.

"Kami sebagai warga Badui tentu memelihara serta menjaga hutan lindung yang ada di kawasan tanah adat," kata Ketua Lembaga Adat Badui, Saidi, yang memimpin acara perayaan Seba dihadapan Bupati Lebak, Jumat malam.

Ia mengatakan, sampai saat ini masih ada pelaku penebangan liar di hutan lindung serta penyerobotan tanah hak ulayat Badui dengan mendirikan bangunan gubuk di blok perbatasan.

"Pembangunan gubuk itu kami telah melaporkan kepada aparat kepolisian dan pemerintah kecamatan dan kabupaten, namun hingga kini mereka belum ditindak tegas secara hukum," katanya.

Menurut dia, kawasan Badui seluas 5.103 hektare dengan jumlah penduduk 10.000 jiwa sudah memiliki ketetapan hukum yang diatur oleh peraturan daerah (Perda) nomor 32 tahun 1998 lalu.

Oleh karena itu, jika orang luar merusak atau melakukan penebangan liar di hutan lindung mereka harus ditindak tegas oleh aparat kepolisian.

"Untuk itu, kami minta perlindungan hukum agar tanah hak ulayat Badui tidak dirusak oleh orang yang tidak bertanggung jawab," kata Ketua Lembaga Adat Badui.

Kepala Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Dainah, di tempat terpisah, menegaskan pihaknya hingga kini seminggu dua kali bersama warga Badui melakukan pengawasan hutan-hutan lindung di kawasan tanah ulayat.

Pengawasan itu, kata dia, dalam upaya mencegah terjadi kerusakan hutan lindung dari orang-orang luar yang melakukan penebangan liar.

Sebab, kata dia, jika hutan lindung itu gundul tentu yang rugi bukan hanya warga Badui saja, melainkan daerah Rangkasbitung, Serang, Cilegon dan Tangerang akan kesulitan air bersih juga terjadi bencana alam seperti banjir,longsoran tanah. Apalagi, kawasan tanah ulayat Badui termasuk daerah sumber mata air yang harus dijaga kelestarian alam dan hutan.

"Memang, saat ini kerusakan hutan lindung tidak separah tahun 1998 lalu akibat adanya penebangan liar itu," ujar Dainah yang juga sebagai kepala pemerintahan suku Badui.

Sementara itu, Bupati Kabupaten Lebak, H Mulyadi Jayabaya, mengemukakan, pihaknya berjanji akan memberikan bantuan kepada warga Baduy untuk membangun pagar pembatas di lokasi tanah ulayat sehingga aman dari pencurian kayu atau binatang ternak milik masyarakat luar.

"Insya-Allah, saya akan membantu pembangunan pagar pembatas tanah ulayat Badui sepanjang enam kilometer," katanya menambahkan. (*)(ANTARA News)

Tidak ada komentar: